MENYINGKAP PERAN DAN KEPAHLAWANAN UMAT ISLAM DALAM SEJARAH
Di Istana Negara, Jakarta, Kamis, (5/11/2015), Presiden Jokowi
menganugerahkan gelar pahlawan nasional kepada 5 tokoh yang dianggap
berjasa terhadap bangsa dan negara. Pemberian gelar tersebut sesuai
dengan Keppres No 116/TK/Tahun 2015 tanggal 4 November 2015 (
news.liputan6.com, 05/11)
Satu dari lima orang yang diberi gelar pahlawan nasional tahun ini
adalah Ki Bagoes Hadikoesoemo. Beliau pernah menjadi anggota BPUPKI
(Badan Penyidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia) dan PPKI
(Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia) tahun 1945. Kiprah beliau
sangat kental dengan spirit penegakan Islam.
“Kejahatan” Terhadap Sejarah
Mayoritas pahlawan di negeri ini adalah Muslim. Namun, kepahlawanan
mereka, termasuk pengungkapan sejarah mereka, lebih sering disifati
dengan sifat nasional, bukan dengan spirit Islam. Ini tentu merupakan
”kejahatan” terhadap sejarah, yang berujung pada pengaburan peran Islam
dalam sejarah bangsa dan negara ini.
Setidaknya ada tiga ”kejahatan” terhadap sejarah itu. Pertama:
Penguburan sejarah. Penggalan sejarah tidak diungkap atau jarang
dimasukkan dalam kajian dan pembelajaran sejarah. Salah satu contohnya
Resolusi Jihad 22 Oktober 1945. Penetapan tanggal 10 November sebagai
Hari Pahlawan adalah untuk mengenang peristiwa heroik yang terjadi di
Surabaya pada tanggal 10 November 1945. Peristiwa heroik itu tak lepas
dari adanya Resolusi Jihad yang ditandatangani oleh Hadratus Syaikh KH
Hasyim Asy’ari pada 22 Oktober 1945.
Pada 21 Oktober 1945, para konsul NU se-Jawa dan Madura berkumpul di
Kantor ANO (Ansor Nahdlatul Oelama) di Jl. Bubutan VI/2 Surabaya.
Setelah rapat maraton, pada 22 Oktober dideklarasikan seruan jihad fi
sabilillah yang dikenal sebagai Resolusi Jihad. Salah satu poin Resolusi
Jihad itu menyerukan bahwa perang melawan penjajah adalah fardhu ’ain
bagi yang berada dalam jarak 94 km dari tempat masuk dan kedudukan musuh
(yakni Surabaya). Adapun bagi yang di luar itu, perang (jihad) adalah
fardhu kifayah. Dinyatakan pula bahwa siapa yang gugur dalam jihad itu
maka ia menjadi syuhada’.
Resolusi Jihad itu mendorong puluhan ribu Muslim bertempur melawan
Belanda dengan gagah berani. Pasukan terdepan yang bertempur kala itu
antara lain: Laskar Hizbullah pimpinan KH Zainul Arifin, Laskar
Sabilillah pimpinan KH Masykur, Barisan Mujahidin pimpinan KH Wahab
Chasbullah; PETA, separuh batalionnya dipimpin oleh para kiai NU,
Tentara Keamanan Rakyat (TKR) dan lainnya. Resolusi Jihad itulah—yang
kemudian dikukuhkan dalam Konggres Umat Islam di Yogyakarta 7-8 November
1945—yang juga menggerakkan perlawanan para kiai, ulama, santri dan
umat Islam di wilayah-wilayah lainnya.
Peristiwa heroik 10 November di Surabaya itu selalu disebut-sebut dan
diperingati sebagai Hari Pahlawan. Anehnya, Resolusi Jihad serta peran
para kiai, ulama, santri, Laskar Hizbullah dan Sabilillah serta umat
Islam yang bertempur dengan spirit jihad justru seolah sengaja dikubur
atau digelapkan. Dalam buku sejarah, peristiwa penting itu tidak
ditulis. Padahal bila sejarah pergerakan kemerdekaan ditulis secara
jujur, mestinya akan terbaca sangat jelas peran besar para santri yang
tergabung dalam Hizbullah dan para kiai yang tergabung dalam Sabilillah,
dalam periode mempertahankan kemerdekaan.
Kejahatan kedua: Pengaburan peristiwa sejarah. Contoh: Siapa sebenarnya
inspirator kebangkitan nasional melawan penjajah? Bila sejarah mencatat
secara jujur, mestinya bukan Boedi Oetomo, melainkan Syarikat Islam (SI)
yang merupakan pengembangan dari Syarikat Dagang Islam (SDI) yang
antara lain dipimpin oleh HOS Cokroaminoto. Inilah yang harus disebut
sebagai cikal bakal kesadaran nasional melawan penjajah. Sebagai gerakan
politik, SI ketika itu benar-benar bersifat nasional, ditandai dengan
keberadaannya di lebih dari 18 wilayah di Indonesia, dengan tujuan yang
sangat jelas, yakni melawan penjajah Belanda. Sebaliknya, Boedi Oetomo
sesungguhnya hanya perkumpulan kecil, sangat elitis, dikalangan priyayi
Jawa, serta tidak memiliki spirit perlawanan terhadap Belanda.
Kejahatan ketiga: Pengaburan konteks peristiwa sejarah. Contoh:
Kebangkitan Nasional ditetapkan berdasarkan pada kelahiran Boedi Oetomo,
bukan Sarekat Islam. Hari Pendidikan Nasional juga bukan didasarkan
pada kelahiran Muhammadiyah dengan sekolah pertama yang didirikan oleh
KH Ahmad Dahlan pada 1912, tetapi pada kelahiran sekolah Taman Siswa
pada tahun 1922. Mengapa demikian? Sebab, bila kelahiran Sarekat Islam
dan Muhammadiyah dengan sekolah pertamanya yang dijadikan dasar, maka
yang akan mengemuka tentu adalah spirit atau semangat Islam. Dalam
setting kepentingan politik penguasa saat itu, hal itu sangat tidak
dikehendaki.
Padahal spirit Islam sesungguhnya telah lama menjadi dasar perjuangan
kemerdekaan pada masa lalu. Peperangan selama abad ke-19 melawan Belanda
tak lain atas dorongan semangat jihad melawan penjajah. Saat Pangeran
Diponegoro memanggil sukarelawan, kebanyakan yang tergugah adalah para
ulama dan santri dari berbagai pelosok desa. Pemberontakan petani
menentang penindasan yang berlangsung terus-menerus sepanjang abad ke-19
selalu di bawah bendera Islam. Perlawanan oleh Tengku Cik Di Tiro,
Teuku Umar dan diteruskan oleh Cut Nyak Dien dari tahun 1873-1906 adalah
jihad melawan kape-kape Belanda. Begitu juga dengan Perang Padri.
Sebutan Padri menggambarkan bahwa perang ini merupakan perang keagamaan.
Jadi, jelas sekali ada usaha sistematis untuk meminggirkan bahkan
menghilangkan peran Islam dalam sejarah perjuangan kemerdekaan serta
menghilangkan spirit Islam dari wajah sejarah bangsa dan negara ini.
Spirit Penegakan Islam
Spirit penegakan Islam di negeri ini juga sangat kental. Di antaranya
tampak dalam pembelaan KH Wahid Hasyim terhadap Islam dan pemerintahan
Islam.
Sebagaimana diketahui, Presiden Soekarno dalam kunjungan ke Amuntai
Kalimantan Selatan pada Januari 1953 menyatakan, jika negara berdasarkan
Islam maka akan terjadi separatisme sejumlah daerah yang mayoritas
non-Muslim. Artinya, negara berdasarkan Islam akan menyebabkan
perpecahan.
KH Wahid Hasyim yang menjadi ketua NU kala itu menanggapi pernyataan itu
dengan keras. Beliau menulis, pernyataan bahwa pemerintahan Islam tidak
akan dapat memelihara persatuan bangsa, menurut pandangan hukum Islam,
adalah perbuatan mungkar yang tidak dibenarkan oleh syariah Islam. Wajib
atas tiap-tiap orang Muslim menyatakan ingkar atau tidak setuju.
Spirit penegakan Islam dalam bernegara juga tampak kental dalam kiprah
perjuangan Ki Bagus Hadikusumo. Hal itu tampak dalam pidatonya di depan
BPUPKI tahun 1945 yang kemudian dibukukan oleh putra beliau, Djarnawi
Hadikusumo, pada 1957 dengan judul, ”Islam Sebagai Dasar Negara: Seruan
Sunyi Seorang Ulama”.
Di antaranya Ki Bagus menyatakan, “Bagaimanakah dan dengan pedoman
apakah para nabi itu mengajar dan memimpin umatnya dalam menyusun negara
dan masyakarat yang baik? Baiklah saya terangkan dengan tegas dan
jelas, ialah dengan bersendi ajaran agama.” Ki Bagus kemudian meminta,
“…Bangunkanlah negara di atas ajaran Islam.”
Dalam risalah sidang BPUPKI terungkap, Ki Bagus menyatakan, “Dalam
negara kita, niscaya tuan-tuan menginginkan berdirinya satu pemerintahan
yang adil dan bijaksana, berdasarkan budi pekerti yang luhur, bersendi
permusyawaratan dan putusan rapat, serta luas berlebar dada tidak
memaksa tentang agama. Kalau benar demikian, dirikanlah pemerintahan itu
atas agama Islam karena ajaran Islam mengandung kesampaiannya
sifat-sifat itu.” Beliau juga menyatakan, “Supaya negara Indonesia
merdeka itu dapat berdiri tegak dan teguh, kuat dan kokoh, saya
mengharapkan akan berdirinya negara Indonesia itu berdasarkan agama
Islam.” (Saafroedin Bahar dan Nannie Hudawati (Editor). Risalah Sidang
Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) –
Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI). 28 Mei 1945 – 22 Agustus
1945. Sekretariat Negara. Jakarta. 1998.)
Wahai Kaum Muslim:
Sejarah kiprah dan perjuangan para kiai, ulama, santri dan umat Islam
dulu begitu kental dengan spirit perjuangan dan penegakan Islam. Inilah
yang mesti diwarisi untuk mewujudkan kembali kehidupan yang lebih baik
pada masa sekarang dan mendatang. Dalam hal ini penting bagi kita segera
seperti para pejuang Islam dulu, memenuhi dan menjwab seruan Allah.
Allah SWT berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اسْتَجِيبُوا لِلَّهِ وَلِلرَّسُولِ إِذَا دَعَاكُمْ لِمَا يُحْيِيكُمْ
Hai orang-orang yang beriman, penuhilah seruan Allah dan seruan Rasul
apabila Rasul menyeru kalian pada suatu perkara yang memberikan
kehidupan kepada kalian (TQS al-Anfal [8]: 24).
Untuk memenuhi seruan Allah itu dan sekaligus menyambung kiprah dan
perjuangan para kiai, ulama, santri dan umat Islam dulu, maka penerapan
dan penegakan syariah Islam secara total dan menyeluruh di bawah
pemerintahan Islam harus menjadi agenda utama umat Islam. WalLâh a’lam
bi ash-shawâb. []
Komentar al-Islam:
“Memang ada dugaan dana bantuan sosial digunakan secara tersamar bagi
kepentingan pemilihan kepala daerah, khususnya penggunaan untuk
kepentingan kampanye, dan ini memberikan kontribusi terjadinya dugaan
tindak pidana korupsi,” ujar Pelaksana Tugas (Plt) Wakil Ketua KPK
Indriyanto Seno Adji. (Kompas, 10/11).
1. Yang juga tak kalah bahayanya adalah kolusi politisi-pengusaha.
Akibatnya, lahir korporatokrasi; negara lebih melayani kepentingan
korporasi (perusahaan), kapitalis pemilik modal dan cukong, daripada
melayani kepentingan rakyat.
2. Semua itu akibat sistem politik demokrasi yang sarat modal. Selama
sistem demokrasi dipertahankan, korupsi dan kolusi
politisi/penguasa-korporasi akan terus terjadi. Segera tinggalkan sistem
demokrasi dan ganti dengan sistem politik Islam.